Selasa, 24 Maret 2020
Dua tulisan bagus ttg lockdown di Wuhan
Lock Opo Tumon
23 March 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Milan dan Wuhan ternyata beda. Sama-sama di-lock down tapi tidak sama prakteknya.
Itu baru diketahui setelah 300 dokter dari Tiongkok tiba di Milan, Kamis petang lalu.
Mereka diperbantukan di Italia yang kian kewalahan.
Di Wuhan sendiri sudah tidak ada pasien baru, Rabu lalu. Demikian juga Kamis keesokan harinya.
"Lock down di Milan ini ternyata longgar sekali," ujar dokter dari Tiongkok itu.
"Kendaraan umum masih ada yang jalan. Masih ada orang yang terlihat di lalu-lalang,"
tambah dokter itu seperti dikutip di media di Tiongkok.
Bagi orang Italia mungkin itu sudah dianggap lock down yang mengejutkan.
Yang sangat mengerikan. Kota sudah dinilai sebagai kota mati.
Jalan-jalan sepi. Toko-toko tutup.
Tapi bukan seperti itu yang dimaksud lock down di Wuhan.
Kendaraan umum sama sekali tidak diperbolehkan beroperasi.
Bukan hanya dikurangi. Orang harus benar-benar berada di dalam rumah masing-masing.
Karena lock down di Italia sangat longgar tidak mengherankan setelah
seminggu pun jumlah penderita baru Covid-19 masih ribuan.
Bahkan masih terus di atas 3.000 setiap hari.
Demikian juga jumlah yang meninggal dunia. Sampai melebihi yang meninggal
di Tiongkok (sudah termasuk Hongkong, Taiwan, dan Macau).
Lock down di Wuhan tidak seperti itu. Benar-benar lock down keras.
Saya pun minta gambaran konkrit dari jaringan saya di Tiongkok.
Seperti apa sih lock down di Tiongkok itu.
Ternyata seperti ini:
Sejak 27 Februari lalu semua orang harus men-download satu apps
di ponsel mereka. Nama apps itu: 健康宝 baca: jian kang bao.
Artinya: Sehat Itu Harta Karun. Atau: harta karun berbentuk sehat.
Dengan men-download apps tersebut semua orang terhubung dengan
pusat kesehatan nasional.
Sejak itu di layar ponsel penduduk muncul status kesehatan mereka
masing-masing: Hijau, Kuning, atau Merah.
Ponsel telah berfungsi pula sebagai kartu kesehatan.
Di masa lock down itu semua orang tidak boleh keluar rumah.
Kecuali yang diizinkan oleh petugas. Petugas itu berdiri
di mulut-mulut gang atau di jalan-jalan.
Bagi yang benar-benar punya urusan penting mereka harus
menunjukkan ponsel ke petugas. Mereka harus menunjukkan
status kesehatan masing-masing yang ada di layar ponsel.
Kalau layar ponsel mereka warna hijau berarti diizinkan.
Tapi terbatas. Misalnya ke supermarket atau ke toko obat.
Tapi kalau layar di ponselnya warna kuning mereka tidak boleh
ke mana-mana. Apalagi warna merah.
Dari mana asal status kesehatan itu? Siapa yang memberi
status hijau, kuning, atau merah itu?
Semua itu berasal dari big data.
Ketika dulu Anda men-download apps 'Harta Karun' itu Anda harus
menjawab banyak pertanyaan yang muncul di layar.
Pilihan jawabannya sudah ada di bawah pertanyaan. Tinggal pilih.
Sebelum masuk ke bagian pertanyaan, Anda harus membaca deklarasi
di situ: bahwa Anda sendiri yang menjawab, bukan orang lain.
Bahwa Anda mengisinya dengan jujur. Bahwa kalau tidak jujur
bersedia menanggung konsekuensi hukumnya.
Lalu masuk ke pertanyaan-pertanyaan.
Pertanyaannya banyak: ada 16 soal.
Misalnya ke mana saja selama 14 hari terakhir.
Apakah sedang batuk/demam/panas.
Apakah pernah ke kantor selama 14 hati terakhir.
Di kecamatan mana kantornya.
Dan banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak hanya muncul
sekali waktu download.
Itu muncul setiap hari. Sekali lagi: setiap hari.
Setiap jam 10.00. Dan setiap hari pula Anda harus
menjawabnya --lalu send.
Semua jawaban itu masuk ke sentral data. Terpusat.
Jadilah big data. Semua itu terkumpul dalam sebuah big data.
Big data-lah yang menjadi sumber. Untuk diproses.
Lalu muncullah status hijau, kuning, atau merah
di layar ponsel.
Di bagian atas layar ponsel itu juga terlihat hari,
tanggal, bulan, tahun dan jam. Lalu ada foto wajah Anda.
Di bawah foto Anda itulah warna hijau, kuning,
atau merah ditampilkan.
Dengan demikian ketika Anda menunjukkan layar ponsel
ke petugas akan terlihat foto Anda,
tanggal-hari-bulan-tahun-jam, dan status kesehatan
Anda: hijau, kuning, atau merah.
"Apakah Anda sendiri yang memasang foto itu di layar
apps tersebut?“ tanya saya.
"Bukan," jawabnya. "Waktu download Apps, saya diminta
menghadapkan wajah ke kamera. Wajah saya terfoto.
Langsung muncul di Apps itu," tambahnya.
Berarti big data berperan sangat besar dalam sistem
lock down di Tiongkok. Tanpa big data tidak mungkin
bisa terkontrol seketat itu.
Begitu modern sistem lock down di Tiongkok.
Pantas kalau dokter yang diperbantukan ke Milan menganggap
yang terjadi di Italia itu adalah opo tumon.
"Opo Tumon lock down kok begitu".
(Dahlan Iskan).
Saran IDI Lockdown
(Kesehatan).
Oleh : EJB
Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) meminta agar pemerintah segera
melakukan lockdown kalau tidak ingin penyebaran virus corona meluas.
Saya tidak tahu lockdown seperti apa yang dimaksud oleh IDI.
Lockdown itu sendiri artinya mengunci dengan benar benar mengunci.
Apanya yang dikunci? Kalau ingin meniru negara lain, negara mana?
Apakah ingin meniru China yang lockdown Wuhan.
Baik saya gambarkan secara sederhana lockdown di Wuhan.
Ketika pemerintah pusat China mengumumkan Lockdown kota Wuhan,
maka seluruh kekuasaan kota di bawah Militer.
Semua stasiun kereta, bus dan termasuk bandara di segel oleh aparat.
Artinya tidak boleh ada operasional angkutan.
Semua tempat keramaian di segel.
Setiap orang Wuhan di monitor oleh sistem IT melalaui gadget mereka.
Artinya mereka harus download aplikasi yang memungkinkan pemerintah
bisa mononitor aktifitas mereka setiap detik.
Sistem IT ini yang menentukan status merah, kuning dan hijau mereka.
Kalau merah, langsung petugas datang membawa mereka ke RS.
Engga bisa nolak. Kalau kuning pemaksaan karantina diri di ruman
dan di monitor setiap detik oleh petugas secara online.
Tidak boleh keluar rumah.
Setiap kawasan apartement di jaga oleh militer.
Kalau hijau, dapat konpensasi keluar rumah.
Aplikasi pada gadget itu jadi passport mereka
kalau diperiksa oleh petugas.
Setiap hari status itu bisa berubah. Tergantung hasil monitor.
Selama lockdown itu praktis semua aktifitas bisnis berhenti.
Tidak ada perusahaan dan pabrik buka kecuali tempat tertentu
yang di izinkan, dan itupun SOP nya sangat ketat dibawah
pengawasan aparat.
Bagaimana mereka dapatkan makanan? lagi lagi melalui online.
Pemerintah pastikan semua makanan harganya tidak naik.
Negara melibatkan semua institusi untuk menjamin logistik
dan memastikan makanan sampai di rumah setiap orang.
Apakah makanan itu gratis? tidak. Tetap harus bayar
melalui aplikasi online.
Setiap orang China punya akun di WeChat.
Pada waktu bersamaan pemerintah dengan cepat mengalih
fungsikan semua gedung milik negara yang layak untuk
dijadikan RS khusus Corona. Kurang? dengan cepat
pemerintah membangun RS darurat disemua provinsi
yang terpapar. Ribuan dokter Paramedis Militer
dilibatkan langsung ke RS darurat tersebut.
Semua manajemen berjalan secara IT sistem.
Sekali komando di keluarkan oleh Presiden,
sistem big data dan Egoverment China bekerja,
sehingga koordinasi berlangsung cepat dan efisien.
Semua real time. Tidak ada istilah terlambat dalam
hitungan menit apalagi jam, atau hari.
Karena mereka berhitung detik.
Semua lembaga riset juga bahu membahu menemukan vaksin
dan menetukan jenis obat yang tepat untuk kasus corona.
Nah bayangkan. Ketika kota Wuhan di lockdown,
semua bisnis berhenti. Kehidupan sehari hari di bawah
pengawasan militer. Orang dipaksa tidak keluar rumah.
Ngeyel? urusannya dengan aparat.
Dan semua itu tidak ada konpensasi dari negara berupa
uang kepada rakyat Wuhan. Kok bisa? ya karena Wuhan
itu 90% adalah kelas menengah, yang semua orang punya
tabungan untuk bertahan hidup lebih dari tiga bulan.
Tapi negara memberikan stimulus kepada semua perusahaan
yang terkena dampak dari adanya Lockdown kota Wuhan tu.
Konon katanya mencapai $174 billion atau setara dengan
Rp. 2600 triliun.
Itu tidak termasuk pemangkasan suku bunga. Sehingga
ketika kota wuhan unlock, mesin ekonomi kembali berputar
untuk terjadinya sustainable growth.
Dan akhirnya mereka jadi pemenang.
Nah apakah lockdown itu seperti itu yang kita mau?
Jelas engga ada satupun negara yang bisa.
Secara politik, ekonomi, budaya, agama tidak mendukung
untuk bisa seperti China menghadapi wabah.
Jerman yang hebat saja, hanya bisa mengeluarkan aturan
melarang orang berkumpul lebih dari 2 orang.
Semua negara di dunia jadi keliatan kampungan kalau
melihat cara china memerangi wabah. Benar benar kampungan.
Saya setuju kalau kita meniru jerman saja walau dibilang kampungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar