Senin, 30 Agustus 2021
Selasa, 17 Agustus 2021
BABAH DJIAUW
Dinn Wahyudin
Sang Mentari mulai menampakkan diri. Pagi hari, Kamis 16 Agustus 1945,
udara sangat cerah. Di salah satu sisi pinggiran sungai Citarum yang
sunyi, kampung Bojong, Rengasdenglok Kabupaten Karawang, Babah
Djiauw Kie Siong dan keluarga bertempat tinggal.
Mereka mencari nafkah dan hidup dengan tenang. Seperti hari hari
biasanya, keluarga Djiauw menghabiskan waktu dengan bercocok tanam
dan memelihara sejumlah binatang peliharaan.
Babah Djiauw adalah sosok petani sederhana yang ulet keturunan Tionghoa.
Ia dan keluarga memilih tempat tinggal di pinggiran sungai Citarum
yang sepi agar bisa bertani, sekaligus beternak binatang peliharaan
untuk dijual. Sesekali ia juga menjadi pengrajin peti mati (coffin),
untuk membantu masyarakat sekitar yang membutuhkan.
Tak disangka. Tak diduga, pada pagi itu ia kedatangan sejumlah tamu.
Beberapa pemuda dan satu keluarga muda datang bertandang ke rumahnya.
Tanpa banyak berbicara, ia meminta anak anaknya membersihkan ruang
tamu, dan segera menyiapkan kursi, meja sederhana dan alat tulis.
Itulah awal keluarga Djiauw kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta.
Rumahnya yang menjolok dan sepi sengaja dipilih para pemuda dengan
menjemput Bung Karno dan Bung Hatta untuk pembahasan topik yang
sangat penting : Teks Proklamasi Kemerdekaan.
Dalam dokumen sejarah disebutkan bahwa 16 Agustus 1945, selepas subuh,
Bung Karno dan Bung Hatta dibawa paksa atau diculik dari Jakarta ke
Rengasdengklok. Bung Karno dengan ditemani istrinya Fatmawati juga
putranya Guntur yang masih bayi dibawa ke Rengasdengklok.
Mereka dikawal oleh sejumlah pemuda a.l. Soekarni, Shodancho dan
pemuda lainnya agar Sang proklamator segera memproklamasikan
kemerdekaan. Rencana awalnya, Sang Proklamator akan ditempatkan di
Markas Pembela Tanah air (PETA). Namun akhirnya dibatalkan, dan
para pemuda memilih rumah Djiauw yang sepi untuk dijadikan tempat
diskusi persiapan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan.
Pribadi Babah Djiauw
Sosok babah Djiauw melegenda. Rumahnya yang sederhana di pinggiran
sungai Citarum, menjadi saksi bisu betapa perjalanan sejarah Bangsa
Indonesia telah dibahas secara serius di sana.
Babah Djiauw adalah pribadi yang baik, penolong, hormat pada tamu
walau tak banyak bicara.
Dalam artikel Tale of Chinese -Indonesian (Tempo, 2019), disebutkan
bahwa Djiauw adalah pribadi yang santun kepada tamu. Ia walau tak
bicara dan berkomunikasi dengan tamu, ia tahu persis mengapa tamu
bertandang ke rumahnya.
Diceritakan Fatmawati,
Djiauw raised pigs as well as cows, goats,
chickens, and hens. Ia memindahkan semua binatang peliharaannya
dan menggantinya dengan meja dan pena. Ia menyadari akan ada
pembahasan penting dan sangat rahasia. Suatu rangkaian peristiwa
sejarah bangsa ini antara lain diukir dan dibahas di rumahnya.
Babah Djiauw juga pemimpin keluarga yang baik dan hormat pada tamu.
Walau serba mendadak, ia tak menolak. Keluarga Djiauw menerima
dengan hangat. Walau tak bicara dengan tamu, ia meminta anak anaknya
untuk membersihkan rumahnya dan menyiapkan kamar kecil untuk putra
Bung Karno yang masih kecil agar dapat beristirahat.
The Djiauw has prepared room to be more suitable particularly for
Guntur that was still a baby.
Keluarga Djiauw sadar betul bahwa suasana saat itu sangat genting.
Mata mata dan Heiho atau tentara Jepang juga terus mengintai.
Ketika keluarga Djiauw tahu bahwa diskusi yang dibahas di rumah
itu merupakan topik penting dalam persiapan kemerdekaan.
Mereka merasa ketakutan ketika melihat banyak sampah kertas berkas
penting, berhamburan di halaman rumah. Mereka faham betul, itu draft
dokumen rahasia perjuangan. Lantas mereka membakar kertas bekas
pembahasan kemerdekaan tersebut, agar tak diketahui mata mata Heiho
tentara Jepang.
The Djiauw family was too affraid to keep this historic papers.
Frightened they would be seized by the Japanese, they burned them.
(Tempo, 2019).
Babah Djiauw juga merupakan pribadi yang bekerja dalam diam dan
tak minta balas jasa. Seperti pernah dituturkan salah seorang
putranya, (Lestari, 2015), Babah Djiauw berwasiat kepada putra
putrinya, agar keluarga yang menempati rumahnya harus bersabar.
Tak diperbolehkan merengek minta minta sesuatu kepada pihak
manapun. Bahkan keluarganya harus rela setiap hari menunggu
rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu
yang ingin mengetahui sejarah perjuanganan bangsa.
Itulah pribadi Babah Djiauw yang memiliki nama lengkap
Djiauw Kie Song. Petani sederhana keturunan Tionghoa.
Dengan caranya sendiri, ia berkhidmat untuk bangsa. Ia hormat
pada negara. Walau dengan diam, tak berkata apapun, ia dan
keluarga dengan senang hati mempersilahkan para pejuang
bangsa untuk membahas isu penting tentang proklamasi
kemerdekaan.
Para tamupun dengan tenang dapat mendiskusikan isu penting
tersebut di rumahnya yang menjorok di pinggir sungai Ciratum.
Terima kasih Babah Djiauw.
Perlakuan dan sikapmu selalu dikenang bangsa.
Kesediaan rumahnya disinggahi para pemuda dan Bung Karno
Bung Hatta, memberi pengaruh signifikan pada perjalanan
perjuangan bangsa selanjutnya.
Akhirnya Proklamasi Kemerdekaan RI, dilaksanakan esok harinya
17 Agustus 1945 di Jakarta.
Terima kasih keluarga Djiauw.
You are unsung Heroes.
Pahlawan tanpa tanda jasa.
Xiexie The Djiauws!!
Senin, 02 Agustus 2021
The Prayer
Lagu aslinya dinyanyikan oleh Celine Dion dan Andrea Boccelli
judulnya The Prayer dan di video clip ini diterjemahkan dalam
bahasa Arab dengan judul Shalat.
judulnya The Prayer dan di video clip ini diterjemahkan dalam
bahasa Arab dengan judul Shalat.
Langganan:
Postingan (Atom)