Selasa, 17 Agustus 2021

BABAH DJIAUW

Dinn Wahyudin

Sang Mentari  mulai menampakkan diri. Pagi hari, Kamis 16 Agustus 1945
udara sangat cerah. Di salah satu sisi pinggiran sungai Citarum yang 
sunyi, kampung Bojong,  Rengasdenglok  Kabupaten Karawang, Babah 
Djiauw Kie Siong dan keluarga bertempat tinggal. 

Mereka mencari nafkah dan hidup dengan tenang. Seperti hari hari 
biasanya, keluarga Djiauw menghabiskan waktu dengan bercocok tanam 
dan memelihara sejumlah binatang peliharaan.
    
Babah Djiauw adalah sosok petani sederhana yang ulet keturunan Tionghoa. 
Ia dan keluarga memilih tempat tinggal di pinggiran  sungai Citarum 
yang sepi agar bisa bertani, sekaligus beternak binatang peliharaan 
untuk dijual. Sesekali ia juga menjadi pengrajin peti mati (coffin),  
untuk membantu masyarakat sekitar yang membutuhkan.
   
Tak disangka.  Tak diduga, pada pagi itu ia kedatangan sejumlah tamu. 
Beberapa pemuda dan satu keluarga muda datang bertandang ke rumahnya.
   
Tanpa banyak berbicara, ia meminta anak anaknya membersihkan ruang 
tamu, dan segera menyiapkan kursi, meja sederhana dan alat tulis.
    
Itulah awal keluarga Djiauw kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta. 
Rumahnya yang menjolok dan sepi sengaja dipilih para pemuda dengan 
menjemput Bung Karno dan Bung Hatta  untuk pembahasan topik yang 
sangat penting : Teks Proklamasi Kemerdekaan. 
     
Dalam dokumen sejarah disebutkan bahwa 16 Agustus 1945, selepas subuh, 
Bung Karno dan Bung Hatta  dibawa paksa atau diculik dari Jakarta ke 
Rengasdengklok. Bung Karno dengan ditemani istrinya Fatmawati juga 
putranya Guntur yang masih bayi dibawa ke Rengasdengklok. 

Mereka dikawal oleh sejumlah pemuda a.l. Soekarni, Shodancho dan 
pemuda lainnya agar Sang proklamator segera memproklamasikan 
kemerdekaan. Rencana awalnya, Sang Proklamator  akan ditempatkan di 
Markas  Pembela Tanah air (PETA). Namun akhirnya dibatalkan, dan 
para pemuda memilih rumah Djiauw yang sepi untuk dijadikan tempat 
diskusi persiapan  pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. 

Pribadi Babah Djiauw

Sosok babah Djiauw melegenda. Rumahnya yang sederhana di pinggiran 
sungai Citarum, menjadi saksi bisu betapa perjalanan sejarah Bangsa 
Indonesia telah dibahas secara serius di sana.
    
Babah Djiauw adalah pribadi yang baik, penolong, hormat pada tamu 
walau tak banyak bicara.  
     
Dalam artikel Tale of Chinese -Indonesian (Tempo, 2019), disebutkan 
bahwa Djiauw adalah pribadi yang santun kepada tamu. Ia walau tak 
bicara dan berkomunikasi dengan tamu, ia  tahu persis mengapa tamu 
bertandang ke rumahnya. 

Diceritakan Fatmawati,
 Djiauw raised pigs as well as cows, goats, 
chickens, and hens. Ia memindahkan semua binatang peliharaannya 
dan menggantinya dengan meja dan pena. Ia menyadari akan ada 
pembahasan penting dan sangat rahasia. Suatu rangkaian peristiwa  
sejarah bangsa ini antara lain diukir dan dibahas di rumahnya.
   
Babah Djiauw juga pemimpin keluarga yang baik dan hormat pada tamu. 
Walau serba mendadak, ia tak menolak. Keluarga Djiauw menerima 
dengan hangat. Walau tak bicara dengan tamu, ia meminta anak anaknya 
untuk membersihkan rumahnya dan menyiapkan kamar kecil untuk putra 
Bung Karno yang masih kecil agar dapat beristirahat.
    
The Djiauw has prepared room to be more suitable particularly for 
Guntur that was still a baby.
     
Keluarga Djiauw sadar betul bahwa suasana saat itu sangat genting. 
Mata mata dan Heiho atau tentara Jepang juga terus mengintai. 
Ketika keluarga Djiauw tahu bahwa diskusi yang dibahas di rumah 
itu merupakan topik penting dalam persiapan kemerdekaan. 

Mereka merasa ketakutan ketika  melihat banyak sampah kertas berkas  
penting, berhamburan di halaman rumah. Mereka faham betul, itu draft 
dokumen rahasia perjuangan. Lantas mereka membakar kertas bekas 
pembahasan kemerdekaan tersebut, agar tak diketahui mata mata Heiho 
tentara Jepang.  
  
The Djiauw family was too affraid to keep this historic papers. 
Frightened they would be seized by  the Japanese, they burned them.
(Tempo, 2019).
   
Babah Djiauw juga merupakan pribadi yang bekerja dalam diam dan 
tak minta balas jasa. Seperti pernah dituturkan salah seorang 
putranya, (Lestari, 2015),  Babah Djiauw berwasiat kepada putra 
putrinya, agar keluarga yang menempati rumahnya harus bersabar. 
Tak diperbolehkan merengek  minta minta sesuatu kepada pihak 
manapun. Bahkan keluarganya harus rela setiap hari menunggu 
rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu 
yang ingin mengetahui sejarah perjuanganan bangsa.
   
Itulah pribadi Babah Djiauw yang memiliki nama lengkap 
Djiauw Kie Song. Petani sederhana keturunan Tionghoa. 
Dengan caranya sendiri, ia berkhidmat untuk bangsa. Ia hormat 
pada negara. Walau dengan diam, tak berkata apapun, ia dan 
keluarga dengan senang hati mempersilahkan para pejuang 
bangsa untuk membahas isu penting tentang proklamasi 
kemerdekaan. 

Para tamupun dengan tenang  dapat mendiskusikan  isu penting 
tersebut  di rumahnya yang menjorok di pinggir sungai Ciratum.
   
Terima kasih Babah Djiauw. 
Perlakuan dan sikapmu selalu dikenang bangsa. 
Kesediaan rumahnya disinggahi para pemuda dan Bung Karno 
Bung Hatta, memberi pengaruh signifikan pada perjalanan 
perjuangan bangsa selanjutnya. 

Akhirnya  Proklamasi Kemerdekaan RI, dilaksanakan esok harinya 
17 Agustus 1945 di Jakarta.     

Terima kasih keluarga Djiauw. 
You are unsung Heroes. 
Pahlawan tanpa tanda jasa.
    
Xiexie The Djiauws!!

Senin, 02 Agustus 2021

The Prayer

Lagu aslinya dinyanyikan oleh Celine Dion dan Andrea Boccelli
judulnya The Prayer dan di video clip ini diterjemahkan dalam
bahasa Arab dengan judul Shalat.