Minggu
13/5/12, pukul 06.00 wib, saat jalanan di Jakarta masih lengang, mobil
Mercy L 1 JP melaju kencang menuju bandara Soekarto Hatta. Penumpangnya
hanya berempat. Pak Menteri BUMN, aku dan pak Jusak. Pak Dis duduk di
depan kiri berdampingan dengan Zahidin, sopir pribadinya. Sedangkan aku
dan pak Jusak, duduk di belakang. Kami berdua seperti juragan di mobil
mewah itu. Terlihat beberapa botol air mineral dan camilan kecil
tersedia rapi. Juga ada permen.
''Kita berangkat pagi, karena aku pingin mampir ATC (Auto Traffic
Control) di Soeta,'' kata pak menteri sambil menggulung lengan hem
bergaris-garis warna biru yang dikenakan. Sesegera mungkin, tas kopor
kutarik dan kumasukkan ke dalam bagasi mobil berwarna hitam metalik itu.
Sepinya
jalanan ibukota, membuat Zahidin tancap gas full. Tidak sampai 1 jam,
perjalanan menuju bandara Soeta dari Capital Residence, dilalui tanpa
hambatan. Lucunya, saat sampai di pintu gerbang Perum Angkasa Pura
(PAP), mobil melaju pelan. Pak menteri bergegas menurunkan kaca sambil
menyapa sekurity dan satpam yang tengah berjaga. ''Pagi, pak. Permisi,
ya'' sapa pak Dis dengan ramah. Belum sempat menjawab, mobil yang
membawa kita melaju menuju sebuah gedung paling ujung. Rupanya gedung
ini adalah tempat paling vital milik PAP. Karena di gedung inilah letak
berbagai mesin
pengontrol lalu lintas udara yang ada di bandara Soeta.
Belum
sampai di tempat parkir, terdengar peluit dari security yang kita
lalui. Dari belakang, kulihat petugas jaga yang ada di pos, berlari-lari
menghampiri mobil kami. Dengan wajah garang, seorang petugas berbadan
agak tambun menyuruh mobil kami kembali. Alasannya, tempat terlarang dan
tidakb oleh sembarangan orang masuk. Untuk urusan itu, pak Dis
menyerahkan pada Zahidin. Sepintas, kulihat ada adu argumentasi antara
sopir pribadi pak Dis dengan petugas security. Sedangkan Pak Jusak
buru-buru mencari toilet. Apa yang terjadi, aku tidak tahu pasti.
Bagiku, mengikuti langkah pak Dis yang sangat cepat, lebih penting.
Setengah berlari, kuikuti langkah pak Dis menuju sebuah gedung yang
salah satu mejanya bertuliskan receptionis. ''Pagi, Assalamulaikum,
permisi,'' sapa pak Dis. Ternyata, ruangan
itu kosong. Tak ada jawaban. Namun demikian, Pak Dis tetap bertahan dan
berusaha memasuki ruang demi ruang yang ada sambil melihat-lihat
keadaan. Kotor dan perlatan kantor berserakan tidak pada tempatnya.
Disamping itu, terlihat meja kerja maupun meja tamu, terdapat botol air
menieral, bekas piring makan dan satu lagi, asbak penuh puntung rokok.
Padahal, ruangan itu full AC. Dingiiiiiin.
Bagiku,
ini aneh. Meskipun minggu dikenal hari libur bagi masyarakat umum,
tidak demikian dengan PAP dan dunia airline. Hari libur, justru
hari-hari sibuk bagi instansi yang ada dalam salahs atu BUMN tersebut.
Makanya, ada 3 shift yang diberlakukan bagi karyawannya di bagian ini.
Belum tuntas keanehanku, muncul suara nyanyian dari laki-laki yang ada
di dalam ruangan yang ada di televisinya itu. Akupun kembali mengeraskan
suaraku mengucapkan salam. Bukan jawaban
salam, yang kuterima, malah semprotan sinis. ''Siapa sih lo, pagi-pagi
gini. Berisik amat,'' demikian jawab laki-laki berseragam dengan wajah
ketus. Begitu melihat wajahku, laki-laki lain muncul dengan suara tak
kalah garang. ''Siapa yang suruh masuk ke sini,'' katanya dengan suara
lebih keras. Akupun tak mau kalah. ''Mana bosmu, pak menteri pingin
ketemu,'' jawabku dengan tak kalah garang. Mendengar suara galakku,
laki-laki yang ada di dalam, ikutan keluar. Sampai akhirnya ada lima
orang lelaki yang bersiap menghadapiku. Saat kutoleh ke belakang, pak
Dis buru-buru beranjak pergi. Pak Dis keluar dan mencari-cari sendiri
ruangan ATC. Akupun bergegas mengikuti langkah gesitnya. ''Lho, bukannya
itu pak Dahlan Iskan ya,'' kata dua petugas yang masih muda dan
ganteng. Tanpa menjawab, akupun pergi berlari menguntit langkah pak Dis
dari belakang.
Kulihat,
ada perubahan wajah pak Dis dari yang sebelumnya ramah, agak kecut. HP
blakberry warna hitam dikeluarkan dan memencet nomor telepon. Sambil
terus berjalan, pak Dis menelepon seseorang. ''Assalamulaikum, selamat
pagi mas. Mohon maaf, mengganggu libur anda ya. Sory, nih, saya nuwun
sewu, dan kulo nuwun, ingin melihat ATC. Melihat komputer yang baru kita
beli kemarin. Nuwun sewu lho, mas,'' ucap pak menteri. Rupanya, pak Dis
menelpon bos PAP yang tengah menikmati libur minggu. ''Tidak usah,
tidak usah. Biar saya sendiri saja yang mencari. Saya sudah ada di dalam
kantor anda kok ini. Cuma mencari-cari belum ketemu,'' ucap pak menteri
sambil terus membuka-buka pintu ruangan yang dilalui. Rupanya, sebelum
itu, pak Dis sudah pernah berkunjung. Hanya saja, lupa tempatnya. Meski
demikian, pak Dis tidak putus asa. Sampai akhirnya, ada ruangan yang
bertuliskan ATC. Bergegas, pak Dis masuk. ''Nah, ini dia,'' ucapnya
dengan wajah
berbinar.
Akupun
mengikuti langkah pak Dis. Benar. Di ruangan yang agak tersembunyi itu,
terdapat sebuah ruangan khusus. Di dalam ruangan itu ada beberapa orang
bekerja. Sambil mengucapkan salam, pak Dis menyalami satu persatu
karyawan yang tengah bertugas. Tentu saja mereka kaget. Tidak mengira,
jika ruangan mereka dikunjungi menteri. Beberapa orang yang tadinya
santai, terlihat kembali ke komputernya. Begitu juga yang tengah
merokok, meletakkan putung rokoknya di asbak yang ada di sampingnya.
''Wah, nglembur ya. Maaf, saya menganganggu,'' ucap pak Dis sambil
bertanya-tanya pada karyawan yang berkerja kala itu. Setelah meminta
penjelasan bagian apa ruangan yang tengah didatangi, pak Dis minta
ditunjukkan tangga menuju tower ATC. ''Wah, disini perokok semua ya,''
kata pak Dis setengah menyindir. Kudengar ada yang menjawab dan ada yang
membisu,
sambil mematikan putung rokoknya. Beberapa orang, kulihat sibuk
menelepon. Entah siapa yang ditelepon.
Pastinya,
ada dua orang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai supervisor
menjadi penunjuk jalan menuju tower. Kamipun berjalan menuju ruangan
yang ditunjukkan. ''Di sini pak. Mari,'' ucap lelaki bertubuh tegap yang
mengenakan hem kuning muda. Di depan pintu masuk ruangan itu, terdapat
tulisan ''dilarang masuk'' dan tulisan ''steril''. Selain itu juga ada
tulisan ''jagalah kebersihan''.
Karena
tempatnya steril, tanpa diminta pak Dis mencopot sepatu ketsnya.
Apalagi di tempat itu juga terdapat rak sepatu. ''Di sini tidak
sembarang orang boleh masuk, pak,'' kata petugas tadi menjelaskan
ruangan khusus itu. Pak Dis hanya manggut-manggut.
Setelah itu, kami diajak naik ke sebuah tangga. Kalau tidak salah, ada
10 anak tangga yang kami naiki. Di ujung anak tangga, terdapat sebuah
ruangan yang dipintunya bertuliskan ''yang tidak berkepentingan di
larang masuk''. Rupanya, kita diajak ke sebuah ruangan kontrol yang
seluruh ruangannya full komputer. Suasananya ramai. Sedikitnya ada 30
komputer berbagai ukuran. Masing-masing komputer ada seorang
operatornya. Cuma sayang, ruangan yang super dingin itu tidak sesteril,
seperti slogan yang dituliskan. Buktinya, di samping meja komputer, ada
beberapa makanan. Mulai makanan kecil, sampai piring bekas makan mie.
Tragisnya, ruangan ber suhu super dingin itu terdapat beberapa asbak
ukuran 1 meter. Sangat kontradiksi, memang.
Melihat ini
semua, pak Dis bertanya-tanya. ''Kenapa masih ada rokok dan bekas
makanan di ruangan ini? Katanya steril,'' ucap pak Dis serius. Kulihat,
leki-laki yang mengaku supervisor itu gelagapan. ''Oh, iya pak. Rokok
itu untuk menghilangkan stres saja. Kalau tidak, temen-teman tidak bisa
konsentrasi dalam memantau jalur-jalu penerbangan,'' jawab lelaki itu
sekenanya. ''Oh, gitu ya. Kalau stres ya gak usah bekerja saja. Cukup di
rumah. Di sini kan butuh orang sehat. Bukan untuk orang stres,'' jawab
pak Dis tak mau kalah. Melihat jawaban itu, lelaki tadi tersenyum kecut.
''Iya, pak. Siap,'' jawabnya dengan wajah pucat. ''Tolong ya, pak. yang
stres diistirahatkan saja,'' tambah pak Dis. Setelah itu, pak Dis minta
penjelasan tentang komputer raksasa yang baru saja didatangkan oleh
kementeriannya. Setelah itu, pak Dis berkeliling dan melihat sekeliling.
Begitu melihat ada piring makan, sendok, mangkuk dan beberapa bekas
pembungkus mie, pak Dis berucap lagi. ''Lebih
komplit disini, dibuka kantin atau resto ya,'' ucapnya sinis. Sindiran
ini ternyata direspon positif. Buktinya, beberapa lelaki yang sebelumnya
mengikuti langkah kita, buru-buru menugasi kawannya membersihkan bekas
makanan, piring atau apa saja yang ada di meja sekitar komputer. Akupun
hanya senyum-senyum melihat karyawan di bagian komputer itu kelabakan.
Puas
berkeliling, pak Dis minta ditunjukkan tower tempat mesin ATC berada.
Sesuai namanya, Tower ini merupakan bagian tertinggi yang ada di bandara
Soeta. Tower inilah tempat paling vital dari setiap bandara. Karena di
tempat inilah komunikasi antara petugas dengan pilot pesawat untuk minta
ijin landing atau take off pesawat. Sial. Meskipun tempat ini bisa
dikatakan jantungnya bandara,
tidak seperti yang digambarkan. Super sterilnya tidak tampak. Puntung
rokok juga masih ada di beberapa tempat. Bahkan, sebuah asbak tinggi,
juga disiapkan. Pak menteri, kembali kecewa. Peralatan serba canggih dan
super mahal, tidak diimbangi dengan attitude operatornya. Ketika
ditanya mengapa masih ada puntung dan asbak, petugas tadi berkata lugu.
''Biasanya
kalau teman-teman panik, pelampiasannya memukul-mukul berbagai alat
yang ada untuk pelampiasan kegalauan sambil menyanyi-nyanyi, pak.
Apalagi jika cuacanya buruk seperti akhir-akhir ini,'' ujar petugas yang
bertanggung jawab di bagian tower. Pak Dis pun mendengar dengan serius
jawaban petugas tersebut. ''Oh begitu. Bagus, bagus,'' jawab menteri
kelahiran Takeran sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sejenak, pak Dis
minta penjelasan secara rinci, bagaimana dan apa keluhan yang dirasakan
karyawan
di bagian tower itu. Puas, pak Dis mengajak beberapa supervisor turun.
Di sebuah ruangan kecil, pak Dis mengatakan, bahwa semua keluhan akan
ditindak lanjuti. Utamanya, masalah stres dan menabuh bunyi-bunyian di
bagian tower sebagai pelampiasan kegalauan karyawan.
''Ita,
tolong, bapak-bapak ini anda beri penjelasan, bagaimana kinerja kita di
Jawa Pos dulu. Bila perlu, besok, yang dibagian tower dibuatkan
orkestra untuk konser musik. Anda kan mantan wartawan musik toh, jadi
gampang untuk mengatur mereka,'' kata pak Dis kepadaku. Mendengar ucapan
pak Dis kepadaku, beberapa supervisor tadi hanya menganggukkan kepala.
Jelas sekali, jika pak Dis kecewa. Jelas, bila pak menteri gundah.
Sampai
akhirnya, akupun angkat bicara. Pada saat pak menteri mengenakan
sepatu, akupun memberi pencerahan. Seperti seorang guru, akupun
mengisahkan bagaimana sterilnya ruangan redaksi Jawa Pos. Bapak-bapak,
kataku memulai ''ceramah'' kecil''. Di Jawa Pos, peralatannya juga
canggih karena ada alat cetak jarah jauh dan lain sebagainya
yangberkaitan dengan satelit. Untuk menjaga itu semua, bukan berarti
karyawan yang merokok tidak boleh merokok. Boleh. Asalkan di luar
ruangan. Begitu juga dengan makan. Semuanya boleh dilakukan. Karena
merupakan kebutuhan utama manusia. Namun, semuanya itu harus dilakukan
pada tempatnya. Untuk merokok, haruslah di luar ruangan. Di dalam ruang
redaksi, harus steril. Jadi, kataku lebih lanjut, tolong, di sediakan
ruangan merokok bagi yang
merokok. Sehingga, selain ruangan ber AC jadi segar dan bersih,
peralatan super canggih yang dibelikan dengan uang rakyat bisa
diperlihara dengan aman. Melihat aku berceramah seperti dosen di depan
mahasiswa, pak Dis menahan senyum sambil pura-pura sibuk membetulkan
tali sepatunya.
Oalah....rek....rek.
Dadi opo aku iki. Setelah itu, kamipun pamitan pulang. Di tengah
perjalanan menuju mobil, kulihat ada seorang pejabat yang buru-buru
hendak menemui kami. ''Mana pak menteri Dahlan,'' tanyanya kepadaku.
Akupun segera menunjukkan dengan tanganku ke arah belakang. Kulihat pak
Dis sibuk menelpon di temani tiga orang supervisor yang tadi kukuliahi.
Sayup-sayup, ku dengar, pejabat yang berlari-lari itu meminta maaf pada
pak Dis karena keterlambatannya itu. ''Maaf pak. Tadi saya ada di tempat
lain,'' ucapnya memberi alasan. Akupun berlari menuju toilet karena
dinginnya ruangan ''steril''
tersebut.
(Bandara Soekarno-Hatta medio Mei 2012)
dituturkan oleh Siti Ita Nasyi'ah wartawan di Majalah Kartini
-----------------------------------