Oleh: Abdul Adzim | 04 July 2011 | kompasiana
Seorang Ibu berusia 50 tahunan, datang memasuki sebuah toko Korden. Lantas aku dekati, dan menyapanya:’’ Apa kabar bu,…! beliau menjawab dengan ramah dan renyah:’’ al-Hamdulillah, saya sehat. Lantas saya lanjutkan pertanyaan:’’ Kok Ibu sendirian? memangnya ngak ada yang ngantar. Lantas ibu itu menjawab singkat:’’ saya lebih suka sendirian, naik angkot. Memang ngak bisa naik sepeda? tanyaku.
Setelah pertanyaan terahir itu, tiba-tiba sang Ibu bercerita panjang tentang keluarga dan anak-anaknya. Ketika masih bekerja, di Surabaya, Ibu ini termasuk wanita perkasa, karena ingin sekali mengantarkan anak-anaknya menjadi berhasil. Pernah suatu ketika, karena terburu-buru, sang Ibu jatuh dari motornya. Sejak itulah, ibu ini tidak pernah naik motor, hingga memasuki usia 55-an.
Akupun mencoba banyak bertanya tentang anak-anaknya:”terus putra-putrinya dimana semua? Beliau menjawab:’’ al-Hamdulillah, semua sudah mentas (mandiri). Saya tinggal berdua dengan suami dirumah.
Selanjutnya, sang ibu cerita:’’ dulu, ketika anak saya memasuki kuliah kedokteran, biayanya sangat mahal, sehingga harus mengalahkan saudara-saudaranya. Karena wantu itu kuliahnya di Swasta, jadi biayanya cukup tinggi. Tetapi, saya kasihan sekali dengan anak saya ini. memangnya kenapa bu? tanyaku.
Ibu menjawab:’’ ketika selesai kuliah anak saya menikah. Setahun kemudian dikaruniai momongan, ketika balitanya memasuki usia 40 hari (selapan), saya ambil anaknya. Karena saya tidak tega, Mamanya menjadi dokter tetapi susah hidupnya, sehingga waktu untuk anaknya sangat terbatas. Sekitar 5 tahun menganggur, daftar menjadi PNS, tak kunjung di trima. Sementara, dia harus buka praktek sampai malam. Hasil praktek, tidak bisa mencukupi kebutuhan sebagai dokter yang hidup di Kota besar.
Lantas ibu itu tiba-tiba bilang:’’ ternyata, walaupaun sudah menjadi dokter, masih susah juga mencari pekerjaan, tidak seimbang dengan pengeluaranya’’. Mendengar kalimat ini, saya hanya mangut-mangut. Keluhan Ibu mengisaratkan, betapa besar dan berat menyekolahkan anaknya sampai menjadi dokter. Ketika menjadi dokter-pun, sang Ibu ikut momong anaknya hingga empat tahun lamanya, karena belum bisa mandiri sebagai dokter dikota besar yang sainganya semakin ketat. Ibu itu kemudian bilang:’’ saya menyekolahkan sampai rampung, dan juga ngopeni anaknya hingga usia lima tahun’’. Ketika anak memasuki usia lima tahun, sang Ibu mengambilnya, sehingga rumah kembali sepi.
Ketika memasuki usia 5 tahun, baru kemudian sang anak yang berprofesi sebagai dokter diterima di salah satu Kabupaten di Jawa Timur. Sejak ditrima itulah, ahirnya sang dokter berani mengambil anaknya dari asuhan sang Ibunda, karena sekarang merasa mampu memberikan biaya sekolah, dan juga biaya hidup di kota besar. Sekarang, sang Ibu harus hidup berdua lagi dengan suaminya dalam usia senjanya. Tuntas sudah keluhan sang ibu mengantarkan anak menjadi seorang dokter, yang sekaligus menjadi seorang pengasuh cucunya hingga lima tahun.
Inilah yang disebut dengan Ibu perkasa. Tidak pernah pamrih. Semua harta benda, tenaganya dicurahkan untuk mengantarkan sang anak menjadi dokter. Ini juga yang sering dinyayikan oleh anak-anak Taman Kanak-Kanak, Kasih Ibu. Terima kasih ibu…!engkau lebih hebat, kuat, dan perkasa bisa mengatarkan anak-anakmu menjadi orang-orang yang bermanfaat untuk kepentingan umat. Jika anaknya, jarang menjengukmu, atau memeriksamu dikala sakit, jangan khawatir, tuhan akan selalu bersamamu, karena ke-ihlasanmu.